Habered – Di pinggiran Damaskus, segelintir orang Yahudi yang tersisa di Suriah kini dapat kembali mengunjungi salah satu sinagoge tertua di dunia. Tempat ibadah ini, yang dikenal sebagai Sinagoge Jobar atau Sinagoge Eliyahu Hanavi, telah menjadi saksi sejarah panjang komunitas Yahudi di Suriah. Namun, perang saudara selama 13 tahun meninggalkan kerusakan parah. Dinding dan atap sinagoge runtuh, dan banyak artefak berharga hilang. Di gerbangnya, terdapat tanda marmer dalam bahasa Arab yang menyebutkan bahwa sinagoge ini pertama kali dibangun 720 tahun sebelum Masehi.
Setelah kawasan Jobar kembali aman dari konflik, masyarakat mulai berani mengunjungi wilayah yang hancur akibat peperangan. Salah satu pengunjung sinagoge adalah Bakhour Chamntoub, kepala komunitas Yahudi di Suriah yang berusia 74 tahun. Ini merupakan kunjungannya yang pertama dalam 15 tahun. Meskipun sudah mendengar kerusakan yang terjadi, ia tetap terkejut melihat sebagian besar bangunan berubah menjadi puing-puing. “Sejujurnya, saya merasa terganggu,” ujar Chamntoub, yang tetap tinggal di Suriah meskipun 12 saudaranya telah meninggalkan negara itu.
Chamntoub menegaskan bahwa sinagoge ini memiliki makna mendalam bagi komunitas Yahudi. Ia mengatakan banyak orang Yahudi dari seluruh dunia menyatakan kesiapan untuk membantu membangun kembali tempat ibadah tersebut. Meski demikian, jumlah orang Yahudi di Suriah telah menyusut drastis. Dari populasi besar yang pernah ada, kini hanya tersisa sembilan orang, kebanyakan lanjut usia. Komunitas ini khawatir tidak akan ada lagi orang Yahudi di Suriah dalam beberapa tahun ke depan.
Baca Juga : Kritik Pemimpin Yahudi terhadap Paus Fransiskus
Komunitas Yahudi di Suriah memiliki sejarah panjang sejak masa Nabi Elia sekitar 3.000 tahun lalu. Setelah Perang Salib Pertama pada tahun 1099, banyak orang Yahudi melarikan diri ke Damaskus. Gelombang migrasi lainnya terjadi pada tahun 1492, ketika Yahudi Eropa melarikan diri dari Inkuisisi Spanyol. Pada awal abad ke-20, jumlah mereka mencapai sekitar 100.000 jiwa. Namun, setelah pendirian Israel pada tahun 1948, populasi ini menyusut tajam akibat meningkatnya ketegangan dan pembatasan.
Di bawah kepemimpinan dinasti Assad, orang Yahudi menikmati kebebasan beragama tetapi dilarang bepergian ke luar negeri hingga awal 1990-an. Setelah pembatasan tersebut dicabut, banyak yang memilih untuk meninggalkan Suriah. Sebelum perang dimulai pada tahun 2011, Chamntoub dan beberapa anggota komunitas lainnya rutin datang ke Jobar setiap Sabtu untuk berdoa. Ia mengenang kitab Taurat yang ditulis di kulit rusa, lampu gantung, dan permadani indah, yang kini telah hilang akibat penjarahan.
Selama konflik, sinagoge sempat dilindungi oleh pemberontak, tetapi kawasan Jobar mengalami kehancuran besar. Pasukan pemerintah merebut kembali wilayah ini pada tahun 2018, tetapi akses ke kawasan tersebut tetap dibatasi. Barakat Hazroumi, seorang Muslim yang tinggal di dekat sinagoge, mengingat bagaimana ia membantu menyalakan lilin untuk jamaah Yahudi pada hari Sabtu. Ia menyebut sinagoge sebagai tempat ibadah yang indah yang kini membutuhkan pembangunan kembali total.
Saat ini, Chamntoub tinggal di kawasan Yahudi di Damaskus kuno, dekat dengan sekolah Maimonides yang didirikan pada 1944 tetapi telah lama tutup. Kawasan ini menyimpan sisa-sisa komunitas Yahudi, seperti poster-poster dalam bahasa Ibrani dan rumah-rumah yang pintu serta jendelanya terkunci dengan logam. Chamntoub menghadapi tantangan besar untuk menjalani kehidupannya, termasuk kesulitan mendapatkan makanan halal. Ia mengandalkan kiriman daging dari saudara-saudaranya di Amerika Serikat dan lebih sering mengonsumsi makanan vegetarian.
Ia juga merawat Firdos Mallakh, seorang wanita Yahudi berusia 88 tahun yang tinggal sendirian di Damaskus. Chamntoub memasak untuknya hampir setiap hari. Mallakh adalah salah satu dari sedikit anggota komunitas yang masih bertahan di Suriah. Meskipun jumlah mereka semakin sedikit, Chamntoub tetap bangga akan identitasnya sebagai seorang Yahudi. Ia berharap jatuhnya pemerintahan Assad membawa lebih banyak kebebasan bagi warga Suriah.
Namun, dengan minimnya anggota komunitas Yahudi yang tersisa, sinagoge-sinagoge di Damaskus tidak lagi menyelenggarakan kebaktian. Chamntoub merayakan Hanukkah selama delapan hari sendirian di rumahnya. Dalam kesendiriannya, ia tetap memelihara tradisi dan harapan bahwa suatu hari sinagoge dan komunitasnya dapat hidup kembali.
Simak Juga : Tragedi Bourbon Street: Serangan Teror Malam Tahun Baru di New Orleans