Habered – Keputusan Presiden Joe Biden untuk memberikan pengampunan kepada putranya, Hunter Biden, telah memicu kembali perdebatan tentang penggunaan kekuasaan presiden dalam memberikan pengampunan. Meski sebelumnya Presiden Biden menyatakan tidak akan melakukannya, pengampunan tersebut membebaskan Hunter dari hukuman atas kasus pelanggaran senjata api dan pajak, serta mencakup tindakan lain yang mungkin dilakukan antara 2014 hingga 2024.
Tindakan ini dibandingkan dengan keputusan Donald Trump, yang selama masa jabatannya mengeluarkan 144 pengampunan, termasuk bagi para pendukung yang terlibat dalam serangan Gedung Capitol pada 6 Januari 2021. Diskusi kini beralih pada pertanyaan apakah kewenangan pengampunan harus sepenuhnya berada di tangan presiden, atau perlu adanya batasan untuk mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Black’s Law Dictionary mendefinisikan pengampunan sebagai tindakan yang membebaskan seseorang dari hukuman hukum atas kejahatan yang telah dilakukannya. Dalam sejarah, kewenangan pengampunan presiden di Amerika Serikat berakar dari sistem hukum Inggris yang memberikan kekuasaan absolut kepada raja pada abad ke-16. Namun, seiring waktu, Parlemen Inggris mulai memberlakukan pembatasan, seperti melarang pengampunan dalam kasus pemakzulan.
Baca Juga : Komunitas Yahudi yang Kembali ke Sinagoge Bersejarah di Suriah
Model Inggris ini diadopsi oleh para pendiri Amerika Serikat dalam Pasal II Konstitusi. Presiden diberi kewenangan untuk memberikan pengampunan atas pelanggaran federal, dengan satu pengecualian: pengampunan tidak berlaku dalam kasus pemakzulan. Namun, sejak awal, kewenangan ini dianggap kontroversial. George Mason, salah satu delegasi penyusun Konstitusi, mengkhawatirkan potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh presiden yang dapat melindungi kejahatan yang dilakukannya sendiri.
Sebaliknya, James Madison berpendapat bahwa pembatasan pengampunan dalam kasus pemakzulan cukup untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Para pendiri berharap presiden menggunakan kewenangan ini dengan bijaksana. Namun, perdebatan mengenai batasan kekuasaan presiden terus berlangsung hingga kini, terutama ketika pengampunan diberikan kepada individu yang memiliki hubungan dekat dengan presiden.
Secara historis, pengampunan sering dikaitkan dengan konsep teologis tentang belas kasihan ilahi. Seperti dalam agama-agama besar, pengampunan mencerminkan kasih dan belas kasihan yang memungkinkan rekonsiliasi. Hakim Agung Marshall dalam kasus United States v. Wilson menyebut pengampunan sebagai tindakan kasih karunia. Namun, konsep ini bertentangan dengan prinsip hukum yang mengharuskan perlakuan berbeda terhadap kasus yang berbeda.
Filsuf politik seperti Hannah Arendt dan Paul Ricoeur memberikan perspektif lain tentang pengampunan. Arendt menyatakan bahwa pengampunan memungkinkan kita melupakan kesalahan masa lalu dan membuka jalan menuju masa depan yang baru. Sementara itu, Ricoeur berpendapat bahwa pengampunan adalah pengecualian terhadap aturan hukum, bukan norma yang dapat dilembagakan. Pengampunan bersifat pribadi dan tidak seharusnya menjadi alat kekuasaan yang dapat disalahgunakan.
Hakim Marshall juga menegaskan bahwa pengampunan adalah tindakan pribadi presiden, meskipun memiliki dampak resmi. Dalam konteks ini, pengampunan seharusnya tidak menjadi bagian dari lembaga hukum, melainkan tindakan yang memperhitungkan pertimbangan manusiawi. Namun, keputusan untuk memberikan pengampunan kepada individu tertentu tetap harus menghadapi pengawasan publik untuk memastikan keadilan dan transparansi.
Pengampunan di masa akhir jabatan seorang presiden sering kali mencerminkan kebutuhan untuk memulai lembaran baru dalam kehidupan masyarakat. Dalam proses transisi kekuasaan, pengampunan dapat menjadi simbol rekonsiliasi, meskipun terkadang memicu kritik. Bagi demokrasi, pengampunan tetap relevan karena memberikan peluang untuk pembaruan harapan dan kehidupan bersama yang lebih baik.
Meskipun keputusan Presiden Joe Biden menuai kritik, penting untuk melihat pengampunan sebagai elemen yang dapat membawa kemajuan bagi demokrasi. Namun, diperlukan diskusi yang berkelanjutan tentang bagaimana kewenangan ini dapat digunakan secara bijaksana tanpa mengabaikan prinsip keadilan dan aturan hukum.