Memahami Sede Vacante, Masa Kekosongan Tahta Kepausan
Habered – Dalam Gereja Katolik Roma, terdapat istilah unik dan penting yang menandai periode tanpa seorang Paus yang memimpin. Istilah tersebut dikenal sebagai sede vacante, yang berasal dari bahasa Latin dan berarti “tahta kosong”. Momen ini menjadi salah satu fase penting dan penuh tradisi dalam sejarah Gereja Katolik.
Sede vacante merujuk pada masa ketika Takhta Suci atau kursi kepausan tidak diduduki oleh seorang Paus, baik karena wafatnya Paus atau karena pengunduran dirinya. Selama periode ini, jabatan Paus secara resmi kosong dan Gereja Katolik memasuki fase transisi menuju pemilihan pemimpin baru.
“Simak Juga: Manfaat Dana Jubah untuk Sangha”
Periode sede vacante berakhir saat seorang Paus baru terpilih melalui konklaf, yaitu pertemuan tertutup para kardinal Gereja Katolik yang memiliki hak pilih.
Secara simbolis, banyak hal berubah selama masa sede vacante. Salah satunya adalah penggunaan lambang khusus: sebuah payung merah dan emas (umbraculum) yang menggantikan lambang Paus dalam dokumen dan atribut resmi. Selain itu, cincin nelayan milik Paus yang wafat atau mengundurkan diri akan dihancurkan untuk mencegah pemalsuan dokumen kepausan.
Pihak yang memimpin sementara dalam masa ini adalah Kamerlengo, seorang kardinal yang bertanggung jawab atas administrasi Vatikan selama kekosongan takhta. Namun, ia tidak memiliki wewenang membuat keputusan besar yang biasanya menjadi otoritas Paus.
Selama momen ini, konklaf akan diadakan dalam waktu 15–20 hari setelah wafat atau pengunduran diri Paus. Para kardinal yang berusia di bawah 80 tahun berkumpul di Kapel Sistina untuk memilih Paus baru secara tertutup dan melalui sistem pemungutan suara.
Asap putih yang keluar dari cerobong Kapel Sistina menjadi pertanda dunia bahwa Paus baru telah terpilih. Sebaliknya, asap hitam menandakan bahwa pemungutan suara belum menghasilkan keputusan.
Sede vacante adalah masa yang penting namun tenang dalam Gereja Katolik. Meski tanpa pemimpin tertinggi, sistem yang terorganisir dan tradisi yang kuat memastikan transisi berjalan dengan penuh kehormatan dan ketertiban. Momen ini sekaligus menjadi refleksi spiritual bagi umat Katolik di seluruh dunia.
“Baca Juga: Mengenal PTSD, Luka Batin yang Tak Terlihat”
This website uses cookies.