Habered – Memimpin gereja masa kini menghadapi tantangan besar dalam memimpin di tengah perpecahan budaya. Untuk menghadapinya, pendeta perlu mengembangkan rasa ingin tahu, kebijaksanaan, dan kemampuan untuk tidak setuju dengan cara yang baik.
Salah satu temuan dari studi State of the Church Initiative menunjukkan bahwa sebagian besar jemaat gereja tidak menginginkan pendeta mereka untuk berbicara tentang isu atau kandidat politik. Meskipun hal ini tidak mengejutkan, ini menunjukkan kemajuan dari situasi yang terjadi selama pandemi COVID-19. Ketika banyak jemaat berpindah gereja demi menemukan komunitas yang lebih selaras dengan pandangan politik mereka. Di masa seperti ini, pendeta yang efektif tidak hanya perlu membimbing jemaatnya dalam hal keyakinan agama. Tetapi juga harus siap untuk menjaga kedamaian dan persatuan di tengah isu-isu yang memecah belah.
Baca Juga : Pandangan Keluarga Katolik yang Menentang Dalam Hal Isu Praktik Aborsi
Menjadi pemimpin yang baik dalam perpecahan budaya bukan berarti memberi tahu jemaat bagaimana cara memilih atau merasakan sesuatu. Sebaliknya, pendeta harus mampu menanamkan nilai-nilai kedamaian dan kebersamaan yang bersumber dari ajaran Alkitab. Namun, banyak pendeta merasa tidak siap untuk menjalankan tugas ini. Untuk itu, pendeta harus memperlengkapi diri mereka dengan keterampilan yang tepat. Salah satunya adalah mengembangkan rasa ingin tahu, yang memungkinkan mereka memahami perspektif orang lain tanpa mengorbankan keyakinan mereka. Kitab Suci memberikan banyak contoh pemimpin yang belajar dari budaya sekitar mereka, seperti Rasul Paulus yang mampu berbicara dengan orang-orang di Athena karena memahami tradisi agama mereka. Pendeta yang ingin memimpin dengan baik perlu mengikuti teladan ini, dengan cara mendalami berbagai pandangan dan budaya tanpa kehilangan dasar keyakinan mereka.
Pendeta juga perlu bersikap bijaksana. Kebijaksanaan yang dimaksud adalah kemampuan untuk melihat setiap isu dari perspektif Alkitab. Di tengah krisis buta huruf Alkitab yang semakin meluas, banyak orang yang lebih akrab dengan isu-isu terkini daripada dengan ajaran Kitab Suci. Dalam konteks ini, pendeta harus mampu memandu jemaat kembali pada kebenaran firman Tuhan sebagai panduan utama dalam menanggapi berbagai isu kehidupan.
Selain itu, penting bagi pendeta untuk mengajarkan jemaat bagaimana tidak setuju dengan baik. Dalam era di mana banyak orang mengidentifikasi diri dengan pandangan politik atau sosial mereka, ketidaksetujuan seringkali dipersepsikan sebagai konflik pribadi. Namun, tidak setuju dengan baik berarti mengasihi orang lain meskipun kita tidak sependapat dengan mereka. Pendeta harus berhati-hati dalam memilih topik yang dibahas, baik dari mimbar maupun dalam percakapan sehari-hari. Setiap kata yang diucapkan mencerminkan kesaksian iman, dan jika terlalu cepat melontarkan pendapat yang keras, hal itu bisa merusak kesaksian tersebut.
Dengan mengembangkan rasa ingin tahu, kebijaksanaan, dan kemampuan untuk tidak setuju dengan baik, pendeta dapat memimpin jemaatnya dengan efektif di tengah perpecahan budaya yang semakin tajam.
Simak Juga : Coursera: Revolusi Teknologi Pendidikan di Era Digital