Habered – Nasionalisme Kristen di Amerika Serikat telah menjadi perbincangan hangat, dipandang sebagai ancaman besar bagi demokrasi oleh sebagian pihak. Sementara yang lain menganggapnya sebagai penyelamat bangsa. Eric McDaniel, seorang ilmuwan politik, mendefinisikan nasionalisme Kristen sebagai keyakinan bahwa Amerika didirikan sebagai negara Kristen, di mana pemerintahan dan misi negara diarahkan oleh kehendak ilahi. Pandangan ini mendatangkan dukungan sekaligus kekhawatiran.
Banyak cendekiawan menghubungkan nasionalisme Kristen dengan keinginan untuk mengecualikan kelompok non-Kristen dan minoritas ras dari masyarakat Amerika. Sejarah menunjukkan adanya hubungan erat antara nasionalisme Kristen dan rasisme di kalangan warga kulit putih. Namun, nasionalisme Kristen tidak terbatas pada kelompok ini. Data menunjukkan bahwa hampir 40% Protestan kulit hitam dan 55% Protestan Hispanik setuju bahwa menjadi Kristen adalah bagian penting dari identitas warga Amerika. Bahkan, lebih dari sepertiga Muslim di Amerika percaya bahwa pemerintah harus mempromosikan nilai-nilai moral Kristen tanpa menjadikannya agama resmi negara.
Baca Juga : Uskup Mariann Budde Serukan Belas Kasih dan Persatuan di Tengah Kontroversi Politik
Pendukung nasionalisme Kristen berpendapat bahwa kesetiaan kepada Tuhan dan warisan Kristen negara adalah kunci masa depan Amerika. Mereka melihat pengaruh Kristen dalam pemerintahan, pendidikan, dan perawatan kesehatan sebagai elemen penting dalam menjaga stabilitas sosial. Sebaliknya, kritik terhadap nasionalisme Kristen muncul karena pandangan bahwa gagasan ini memprioritaskan orang Amerika Kristen kulit putih dan mengancam prinsip kesetaraan.
Selain faktor ras, agama, dan sejarah, penelitian terbaru menunjukkan bahwa nilai-nilai moral memiliki peran penting dalam membentuk sikap terhadap nasionalisme Kristen. Teori landasan moral, yang menjadi panduan penelitian ini, mengidentifikasi enam intuisi moral utama: kepedulian, keadilan, kesetiaan, penghormatan terhadap otoritas, kesucian, dan kebebasan individu. Penelitian menemukan bahwa kaum liberal cenderung lebih mendukung landasan kepedulian dan keadilan, sementara kaum konservatif menunjukkan keseimbangan pada keenam landasan tersebut.
Dalam konteks nasionalisme Kristen, penelitian menggunakan survei nasional terhadap 1.125 orang dewasa di Amerika pada tahun 2021. Hasilnya menunjukkan bahwa dukungan terhadap nasionalisme Kristen sangat berkaitan dengan landasan moral kesetiaan, kesucian, dan kebebasan. Namun, rasa hormat terhadap otoritas tidak menjadi faktor pembeda utama antara pendukung dan penentang nasionalisme Kristen. Temuan ini mengejutkan, mengingat dugaan awal bahwa nasionalisme Kristen terkait erat dengan otoritarianisme.
Penelitian juga menunjukkan bahwa dukungan terhadap nasionalisme Kristen lemah pada landasan keadilan, tetapi tidak terkait dengan rendahnya tingkat kepedulian. Ini berarti bahwa perbedaan pendapat tentang nasionalisme Kristen lebih dipengaruhi oleh prioritas moral yang berbeda, bukan kurangnya kepedulian terhadap kelompok lain. Pendukung nasionalisme Kristen lebih peka terhadap pelanggaran terhadap kesetiaan, kesucian, dan kebebasan, sementara penentangnya lebih fokus pada pelanggaran keadilan.
Temuan ini juga mengungkap bahwa dukungan terhadap nasionalisme Kristen tidak semata-mata didorong oleh religiusitas atau prasangka rasial. Bahkan setelah mempertimbangkan faktor-faktor seperti stereotip anti-kulit hitam dan tingkat religiusitas, landasan moral tetap menjadi prediktor utama keyakinan nasionalis Kristen.
Studi ini menemukan dua pendekatan moral terhadap nasionalisme Kristen. Pertama, mereka yang mendukung penyatuan gereja dan negara cenderung memiliki landasan kesetiaan dan kesucian yang kuat, tetapi lemah dalam landasan keadilan. Mereka menganggap kesetiaan kepada Tuhan dan warisan Kristen sebagai hal yang sakral. Sebaliknya, penentang penyatuan ini melihatnya sebagai tindakan yang tidak adil. Kedua, mereka yang mendukung ekspresi agama di ruang publik, seperti doa di sekolah atau simbol-simbol keagamaan, cenderung memiliki landasan kebebasan dan kesucian yang kuat. Mereka memandang ekspresi agama sebagai bagian dari nilai nasional yang sakral.
Kesimpulannya, dukungan dan penolakan terhadap nasionalisme Kristen tidak hanya terkait dengan identitas agama, politik, atau ras, tetapi juga dipengaruhi oleh prioritas moral yang berbeda. Perbedaan moral ini dapat menjadi dasar untuk membangun pemahaman dan dialog yang lebih produktif. Para pendiri Amerika telah menempatkan nilai-nilai keadilan dan kebebasan sebagai inti dari masyarakat demokratis. Dengan memahami perbedaan moral yang mendasari sikap terhadap nasionalisme Kristen, diharapkan tercipta jembatan yang dapat menghubungkan berbagai pandangan dalam masyarakat.
Simak Juga : Howard Lutnick Ungkap Aset dan Persiapan Sebelum Menjabat Menteri Perdagangan AS