Habered – Britt Hartley, seorang mantan Mormon yang kini menjadi pembimbing spiritual bagi ateis, mengajak orang-orang non-agamis untuk memandang tradisi agama sebagai “kotak pusaka”. Ia menyarankan untuk memilih elemen yang bermakna dan relevan bagi mereka. Menurut Hartley, hampir setiap orang memiliki “kotak pusaka” ini karena sebagian besar leluhur kita memiliki latar belakang religius. Dengan demikian, kita dapat menentukan apa yang ingin disimpan dari tradisi tersebut.
Tahun ini, pohon Natal di rumah Hartley dihiasi dengan ornamen bertema Harry Potter. Baginya, kisah ini sangat menghibur bagi anak-anaknya saat ini, dan ia menikmati cerita yang mampu menginspirasi. Perjalanan spiritual Hartley dimulai sekitar lima belas tahun yang lalu di Boise, Idaho, ketika ia mulai mempertanyakan tradisi poligami dalam Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir. Sebagai seorang ibu baru, ia merasa tidak nyaman dengan dampak praktik tersebut terhadap perempuan dalam komunitas gereja. Penelitiannya membawa Hartley ke pemahaman bahwa kepercayaannya mungkin tidak sesuai untuk dirinya. Saat mengejar gelar master dalam teologi terapan, fokusnya pada spiritualitas generasi muda membuatnya kehilangan kepercayaan pada agama sepenuhnya.
Hartley menggambarkan periode itu sebagai malam gelap dalam hidupnya. Ia harus menghadapi ketakutan eksistensial, merasa kehilangan Tuhan, kepercayaan, dan komunitas. Namun, dengan mempelajari filsafat dan mengembangkan apa yang ia sebut “spiritualitas sekuler”, Hartley berhasil membangun kembali kehidupan spiritualnya secara autentik. Kini, ia mendedikasikan hidupnya untuk membantu orang lain menemukan kehidupan bermakna tanpa harus percaya pada hal-hal yang bertentangan dengan keyakinan mereka.
Baca Juga : Refleksi Spiritual dan Kritik Sosial dalam Buku-Buku Agama Tahun 2024
Melalui platform daring bernama No Nonsense Spirituality, Hartley menggunakan media sosial dan sesi pelatihan virtual untuk membimbing individu menciptakan kehidupan yang berorientasi pada tujuan. Ia menawarkan kursus seperti rekonstruksi spiritual dan pemulihan dari nihilisme, serta membantu mereka yang mengalami trauma keagamaan. Dalam kehidupan pribadinya, ia menemukan keterlibatan spiritual melalui aktivitas seperti pemeliharaan lebah. Meskipun skeptis terhadap astrologi, kristal, atau kartu tarot, ia mengakui manfaatnya dalam mendukung refleksi diri dan pertumbuhan pribadi.
Hartley juga telah menulis buku berjudul No Nonsense Spirituality: All the Tools, No Faith Required, yang menawarkan panduan praktis untuk meditasi, rasa syukur, dan mindfulness. Menurutnya, elemen seperti lagu, ritual, dan harapan dapat dinikmati tanpa harus menerima dogma agama. Ia percaya bahwa nilai-nilai ini tetap memiliki kekuatan untuk memperkaya kehidupan seseorang.
Dalam menghadapi musim liburan, Hartley memberikan saran bagi mereka yang tidak percaya tetapi ingin tetap merayakan Natal secara bermakna. Di keluarganya, tradisi seperti menghias pohon Natal, menikmati sup kerang di Malam Natal, dan berdoa sebelum makan malam tetap dipertahankan. Namun, doa mereka mengambil bentuk kutipan dari film Lilo and Stitch: “Ohana berarti keluarga, dan keluarga berarti tidak ada yang tertinggal atau dilupakan.”
Sebagai seorang ibu, Hartley memilih untuk tidak mengajarkan kisah-kisah tertentu dari Alkitab kepada anak-anaknya, seperti penebusan dosa Yesus, karena menurutnya kisah tersebut dapat mengandung ide berbahaya. Sebagai gantinya, keluarganya memiliki tradisi memasukkan jerami ke dalam palungan kecil sebagai simbol kebaikan yang dilakukan sepanjang tahun. Hartley percaya Yesus dapat menjadi sosok yang inspiratif, bahkan bagi mereka yang tidak mempercayai elemen supranatural dalam ceritanya.
Hartley mendorong orang untuk mempelajari Yesus sebagai tokoh sejarah dan menjelajahi ajaran-ajarannya sebagai bahan refleksi. Ia merekomendasikan membaca Injil Thomas, kumpulan ucapan Yesus yang berfokus pada pencerahan spiritual pribadi, serta karya Bart Ehrman yang mengeksplorasi konteks historis Kekristenan awal.
Bagi mereka yang menghadapi dinamika keluarga religius selama liburan, Hartley menyarankan untuk mendekati anggota keluarga dengan empati dan rasa hormat, bukan konfrontasi. Fokus pada nilai-nilai inti, seperti kesetiaan atau keaslian, dapat membantu menemukan titik temu yang melampaui perbedaan teologis atau politik. Menurutnya, pendekatan ini memungkinkan dialog yang bermakna tanpa memicu konflik.
Hartley sendiri menemukan inspirasi musimannya melalui lagu Natal seperti I Heard the Bells on Christmas Day. Lagu ini menggambarkan keindahan kemanusiaan meskipun di tengah penderitaan. Bagi Hartley, Natal adalah waktu untuk beristirahat, berkumpul dengan orang tercinta, dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Ia mengajak semua orang, termasuk yang tidak beragama, untuk menikmati momen ini dengan menyanyikan lagu bersama, melanjutkan tradisi, dan menunjukkan cinta kepada sesama.
Simak Juga : Trump Tunjuk Duta Besar Baru untuk Panama dan Soroti Terusan Panama