Habered – Di usia ke-88, Paus Fransiskus terus memimpin Gereja Katolik di tengah tantangan perang budaya global. Sebagai paus pertama dari Amerika Latin, ia membawa perspektif baru yang memadukan tradisi gereja dengan inovasi yang sesuai dengan zaman. Paus Fransiskus, yang lahir dengan nama Jorge Mario Bergoglio, merasa dipanggil menjadi imam saat berusia 17 tahun. Panggilan ilahinya muncul secara tiba-tiba saat ia mengunjungi tempat pengakuan dosa di Buenos Aires pada 21 September 1953. Hal lebih menarik adalah bahwa perjalanan itu juga menuju sebuah pertemuan mahasiswa yang melibatkan makanan, musik, dan tarian tango Argentina.
Meskipun Fransiskus melewatkan festival itu, tarian tango tetap membekas dalam ingatannya. Bahkan, pada 2014. Ribuan umat Katolik berkumpul di Lapangan Santo Petrus untuk merayakan ulang tahun Paus dengan tarian tango yang terkenal dari Argentina. Setahun sebelum itu, di Buenos Aires, saya mendengar sebutan “teolog tango” untuk Paus Fransiskus. Ia yang mencerminkan bagaimana tariannya menggambarkan visi teologis dan spiritualnya. Sebagai sarjana Katolik Amerika Latin, saya menyadari bahwa tango memberi kita wawasan penting tentang cara berpikir Paus dalam menghadapi berbagai masalah gereja.
Baca Juga : Tradisi Natal Abadi di Bethlehem, Pennsylvania: Warisan Moravia yang Masih Terjaga
Tango sendiri berasal dari wilayah Río de la Plata di Argentina dan Uruguay pada abad ke-19, lahir dari lingkungan miskin dan beragam budaya imigran. Gerakan tango yang penuh ekspresi dan improvisasi menunjukkan pentingnya keharmonisan, spontanitas, dan kontrol diri. Dalam hal ini, Paus Fransiskus menganggap gereja seperti tarian tango: sebuah gereja “sinode.” Di mana umat Katolik—baik pendeta maupun awam—berjalan bersama dalam iman. Gereja sinode ini bukan hanya dipimpin dari atas, tetapi juga melibatkan partisipasi aktif umat dalam mendengarkan, berdialog, dan mengatasi tantangan kehidupan.
Pada Oktober 2024, Sinode tentang Sinodalitas di Vatikan berlangsung, mengakhiri proses tiga tahun yang bertujuan untuk mendengarkan suara umat Katolik di seluruh dunia. Fransiskus berusaha mencari keseimbangan antara tradisi dan inovasi, antara yang lokal dan universal. Seperti dalam tango, gereja harus bergerak dengan ritme yang tepat, tidak terlalu kaku atau terlalu longgar, untuk tetap relevan dengan zaman tanpa meninggalkan akar tradisi.
Namun, kepemimpinan Paus Fransiskus juga menghadapi tantangan besar, terutama di tengah perang budaya yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat. Sejak Konsili Vatikan Kedua pada tahun 1960-an, gereja terpecah antara kaum konservatif yang mempertahankan tradisi dan kaum progresif yang menginginkan perubahan. Beberapa kalangan konservatif menganggap Paus Fransiskus sebagai sosok yang terlalu liberal, sementara beberapa kalangan progresif merasa reformasi yang diusungnya tidak cukup jauh.
Meski demikian, Paus tidak memilih pihak dalam pertarungan ini. Ia mengkritik ekstremisme di kedua sisi, menegaskan bahwa tradisi tidak boleh dibekukan, tetapi inovasi juga harus bijaksana. Kepemimpinan Fransiskus lebih berfokus pada membangun jembatan antara budaya-budaya yang berbeda, terutama antara Gereja Katolik di belahan Utara dan Selatan dunia. Dengan proyeksi pada 2050, Gereja Katolik di luar Eropa Barat diperkirakan akan mencakup tiga perempat dari populasi Katolik global. Oleh karena itu, Fransiskus lebih memperhatikan kesejahteraan umat Katolik di negara-negara berkembang, seperti di Amerika Latin, Afrika, dan Asia.
Fransiskus juga menekankan pentingnya gereja untuk berada di tengah masyarakat, terutama yang paling miskin. Ini merupakan warisan dari ajaran Konsili Vatikan Kedua dan dipengaruhi oleh teologi pembebasan yang banyak dikembangkan oleh teolog Amerika Latin. Dalam ajaran Paus, kesalehan bukan hanya sekadar dalam liturgi, tetapi juga dalam kepedulian terhadap kehidupan sehari-hari umat. Gereja harus hadir di tengah orang-orang miskin dan memperjuangkan keadilan sosial.
Paus Fransiskus melihat kepemimpinan gereja seperti tarian tango yang penuh disiplin dan ekspresi. Ia membangun solidaritas di antara umat dan menghindari pemisahan yang tajam. Tugasnya adalah membangun jembatan antara dunia dan gereja, yang akan tetap relevan bagi umat Katolik di seluruh dunia, terutama di kawasan-kawasan yang berkembang. Warisan kepemimpinan Paus Fransiskus akan bertahan lama setelah masa kepausannya berakhir, memberikan arah bagi gereja di masa depan.