Habered – Tradisi nyekar atau ziarah kubur sebelum Lebaran, menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia, khususnya umat Muslim di Jawa. Biasanya dilakukan beberapa hari sebelum atau setelah Idul Fitri, tradisi ini bukan sekadar ritual, tetapi juga memiliki makna spiritual dan sosial yang mendalam.
Nyekar bukan hanya tentang membersihkan makam dan menabur bunga, tetapi juga menjadi momen untuk mendoakan keluarga yang telah meninggal. Doa yang dipanjatkan bertujuan agar mereka mendapatkan ketenangan dan tempat yang layak di sisi Allah SWT. Lebih dari itu, tradisi ini juga mengingatkan kita akan kematian dan pentingnya mempersiapkan kehidupan akhirat.
“Simak Juga: Perjalanan Spiritual, Menemukan Makna dan Kedamaian Hidup”
Selain aspek spiritual, nyekar juga memiliki nilai sosial yang tinggi. Tradisi ini sering menjadi ajang berkumpulnya keluarga besar, mempererat tali silaturahmi, dan berbagi cerita. Beberapa masyarakat juga meyakini bahwa nyekar dapat menjadi sarana memohon doa restu dari leluhur sebelum menghadapi berbagai tantangan hidup.
Secara umum, nyekar memiliki beberapa tujuan utama:
Dalam Islam, ziarah kubur dianjurkan dengan niat yang benar, yakni untuk berdoa dan mengambil hikmah dari kematian. Namun, praktik seperti meminta pertolongan kepada arwah atau melakukan ritual yang tidak sesuai ajaran Islam sebaiknya dihindari.
Ziarah kubur sebenarnya telah dilakukan sejak lama, bahkan sebelum Islam masuk ke Nusantara. Pada awal penyebaran Islam, Rasulullah SAW sempat melarang praktik ini karena dikhawatirkan akan terjadi kesyirikan. Namun, setelah umat Islam semakin memahami ajaran tauhid, beliau kemudian membolehkannya dan bahkan menganjurkannya sebagai pengingat akhirat.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Muslim:
“Sesungguhnya aku dulu telah melarang kalian berziarah kubur. Maka (sekarang) ziarahlah karena akan bisa mengingatkan kepada akhirat.” (HR. Muslim)
Di Indonesia, tradisi ini mengalami akulturasi budaya, khususnya di Jawa. Para Wali Songo memadukan nilai-nilai Islam dengan budaya lokal, sehingga nyekar tetap dilestarikan sebagai bagian dari tradisi menjelang Ramadan dan Idul Fitri.
Meskipun tidak ada aturan baku, nyekar biasanya dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu:
Di berbagai daerah di Indonesia, tradisi serupa juga dikenal dengan nama yang berbeda. Di Jawa Tengah ada tradisi Nyadran, sementara di Madura dikenal dengan Ngosaran, yang melibatkan gotong royong membersihkan pemakaman. Kalau di Blitar dan sekitarnya, ada tradisi Unggahan atau Megengan, di mana masyarakat membawa makanan untuk didoakan bersama.
Perkembangan zaman dan urbanisasi menyebabkan beberapa perubahan dalam pelaksanaan nyekar. Namun, nilai-nilai utama dari tradisi ini tetap terjaga, yaitu sebagai bentuk penghormatan, refleksi diri, dan sarana mempererat silaturahmi.
Dalam perspektif Islam, tradisi ini memiliki landasan kuat dan dianjurkan sebagai bagian dari ibadah untuk mengingat kematian dan mendoakan keluarga yang telah meninggal. Dengan memahami makna dan tata caranya, kita dapat terus menjaga tradisi nyekar sebagai bagian dari identitas budaya dan warisan leluhur yang berharga.
“Baca Juga: Penyakit Kawasaki, Peradangan Pembuluh Darah pada Anak”