Habered – Vatikan telah memutuskan untuk tidak mengembalikan keffiyeh ke dalam adegan Kelahiran Yesus yang dipamerkan di Aula Paulus VI. Keputusan ini diambil setelah mendapatkan kritik keras dari kelompok Yahudi. Keffiyeh, selendang kotak-kotak hitam dan putih yang melambangkan perjuangan Palestina, sebelumnya ditempatkan di dekat palungan oleh para pejabat Palestina sebelum kedatangan Paus Fransiskus.
Adegan Kelahiran Yesus tersebut dibuat oleh para seniman dari Betlehem menggunakan bahan-bahan lokal. Karya itu diresmikan oleh Paus Fransiskus pada tanggal 7 Desember di hadapan perwakilan politik Palestina. Salah satu seniman, Faten Nastas Mitwasi, menyatakan bahwa keffiyeh ditempatkan sebagai simbol identitas nasional, meskipun awalnya tidak dimaksudkan sebagai pernyataan politik. Namun, keputusan untuk menambahkan keffiyeh disambut baik oleh para seniman.
Setelah keffiyeh disingkirkan bersama dengan patung bayi Yesus, juru bicara Vatikan, Matteo Bruni, menjelaskan bahwa patung bayi Yesus biasanya tidak ditampilkan hingga Hari Natal. Namun, pada tanggal 4 Januari, ketika adegan tersebut dibuka untuk umum, bayi Yesus telah diletakkan di atas jerami tanpa keffiyeh yang sebelumnya ada. Baik seniman maupun pihak Vatikan tidak memberikan komentar mengenai hilangnya keffiyeh tersebut hingga berita ini dipublikasikan.
Baca Juga : Richard Hays: Seorang Sarjana Kristen yang Meninggalkan Warisan Perubahan
Penambahan keffiyeh dalam adegan Kelahiran Yesus telah memicu reaksi negatif dari beberapa kelompok Yahudi. Komite Yahudi Amerika menyatakan kekecewaannya terhadap penggunaan simbol tersebut di Vatikan. Kelompok-kelompok Yahudi lain di Italia juga menunjukkan ketidakpuasan mereka. Kepala rabbi Genoa, Giuseppe Momigliano, menyebut bahwa meskipun dialog dengan Konferensi Uskup Italia tetap berjalan, tindakan Paus dianggap kurang mendukung hubungan antara kedua komunitas.
Kontroversi ini terjadi di tengah upaya Vatikan untuk tetap bersikap netral dalam konflik antara Israel dan Palestina. Sikap Paus Fransiskus terhadap isu ini sebelumnya juga menjadi sorotan. Pada tanggal 21 Desember, Paus menyebut serangan Israel yang menewaskan 25 warga Palestina, termasuk anak-anak, sebagai “kekejaman.” Pernyataan tersebut mendapat kritik dari organisasi Yahudi terbesar di Amerika Serikat, yang mengirimkan surat kepada Paus pada 31 Desember. Surat tersebut meminta Paus untuk menahan diri dari pernyataan yang dianggap dapat memicu ketegangan dan mendorong dialog yang membangun antara komunitas Yahudi dan Katolik.
Insiden ini mencerminkan bagaimana isu politik dan simbolisme dapat memengaruhi hubungan antaragama. Sementara itu, para seniman dari Palestina yang terlibat dalam pembuatan adegan Kelahiran Yesus tetap berharap karya mereka dapat dipahami sebagai ungkapan budaya dan iman, bukan sebagai alat politik. Namun, reaksi dari berbagai pihak menunjukkan bahwa simbol seperti keffiyeh memiliki makna yang sangat beragam tergantung pada konteksnya.
Ketegangan ini juga menunjukkan tantangan yang dihadapi Vatikan dalam menjaga hubungan baik dengan semua pihak di tengah konflik yang sensitif. Paus Fransiskus, yang dikenal sebagai pendukung perdamaian dan dialog antarbangsa, terus mencoba mencari keseimbangan dalam merespons isu-isu global. Meskipun demikian, langkah-langkah yang diambil Vatikan akan terus diawasi oleh komunitas internasional, terutama terkait dengan isu-isu di Timur Tengah.
Kisah tentang keffiyeh ini menjadi pengingat bahwa simbol-simbol budaya dan politik memiliki pengaruh yang kuat dalam membentuk persepsi publik. Dalam konteks ini, keffiyeh tidak hanya dianggap sebagai aksesori budaya Palestina, tetapi juga sebagai simbol perjuangan yang kontroversial. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk memahami dampak dari penggunaan simbol-simbol tersebut dalam konteks yang lebih luas.
Simak Juga : Kongres AS Sahkan Pemilihan Trump di Tengah Badai dan Isu Demokrasi